Apa itu “Kekerasan Seksual”?
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.
Apa itu “ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender”?
Menurut Komnas Perempuan (2017), “ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender” adalah sebuah keadaan terlapor menyalahgunakan sumber daya pengetahuan, ekonomi dan/ atau penerimaan masyarakat atau status sosialnya untuk mengendalikan korban.
- verbal,
- nonfisik,
- fisik, dan
- daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
- berperilaku atau mengutarakan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan penampilan fisik, tubuh ataupun identitas gender orang lain (misal: lelucon seksis, siulan, dan memandang bagian tubuh orang lain);
- menyentuh, mengusap, meraba, memegang, dan/atau menggosokkan bagian tubuh pada area pribadi seseorang;
- mengirimkan lelucon, foto, video, audio atau materi lainnya yang bernuansa seksual tanpa persetujuan penerimanya dan/atau meskipun penerima materi sudah menegur pelaku;
- menguntit, mengambil, dan menyebarkan informasi pribadi termasuk gambar seseorang tanpa persetujuan orang tersebut;
- memberi hukuman atau perintah yang bernuansa seksual kepada orang lain (seperti saat penerimaan siswa atau mahasiswa baru, saat pembelajaran di kelas atau kuliah jarak jauh, dalam pergaulan sehari-hari, dan sebagainya);
- mengintip orang yang sedang berpakaian;
- membuka pakaian seseorang tanpa izin orang tersebut;
- membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam seseorang untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang sudah tidak disetujui oleh orang tersebut;
- memaksakan orang untuk melakukan aktivitas seksual atau melakukan percobaan pemerkosaan; dan
- melakukan perbuatan lainnya yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.
Dampak dan Tantangan
Secara umum, hal yang membedakan kekerasan seksual dengan jenis kekerasan yang lainnya adalah dampaknya yang amat besar dan mendalam bagi korban, tetapi dianggap paling sulit dibuktikan. Ada beberapa konsep dasar yang perlu kita pelajari supaya dapat lebih memahami mengapa kasus kekerasan seksual lebih sulit diproses dibandingkan jenis kekerasan lainnya. Berikut ini beberapa konsep khas yang ada dalam kekerasan seksual.
Tonic immobility adalah keadaan lumpuh sementara yang tak disengaja, dimana seorang individu tidak dapat bergerak, atau dalam banyak kasus, bahkan tak dapat mengeluarkan suara (Mölle, 2017). Menurut sebuah studi yang dilakukan terhadap 300 perempuan yang mengunjungi klinik penanganan korban perkosaan, “7 dari 10 orang korban kekerasan seksual mengalami tonic immobility yang signifikan” (Miller, 2017).
Korban kekerasan seksual seringkali dipersalahkan karena tidak melawan, berteriak atau lari saat mengalami kekerasan, padahal saat itu mereka masih mengalami tonic immobility. Konsep ini penting untuk kita pahami, supaya kita tidak dengan mudah menganggap bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada korban adalah aktivitas seksual “suka sama suka” karena menganggap korban tidak melawan, berteriak, berlari ataupun melaporkan saat kejadian. Diamnya korban tidak berarti setuju ataupun suka sama suka.
Tindakan menyalahkan korban adalah sikap yang menunjukkan bahwa korbanlah yang bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang dialaminya, bukan pelaku. Menyalahkan korban terjadi ketika korban diasumsikan melakukan sesuatu untuk memprovokasi atau menyebabkan kekerasan seksual melalui tindakan, kata-kata, atau pakaiannya. Salah satu penyebab minimnya pelaporan korban kekerasan seksual atas kejadian yang dialaminya adalah victim blaming yang dilakukan oleh bermacam pihak, baik itu dari aparat penegak hukum, lingkungan tempat kerja maupun pendidikan, atau bahkan anggota keluarga korban sendiri.
Biasanya, bentuk victim blaming yang dilakukan terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia berkisar pada cara berpakaian korban yang dianggap “mengundang”, kata-kata dan perilaku korban yang dianggap “provokatif”, dan respons korban yang tidak melawan pelaku. Oleh karena itu, bila konsep tonic immobility tadi tidak dipahami, dampaknya akan terjadi pada dua tingkat.
- Internal: menyalahkan diri sendiri atau self-blaming yang dilakukan oleh korban terhadap dirinya sendiri; dan
- Eksternal: pihak lain menyalahkan korban atau victim blaming yang dilakukan oleh orang lain terhadap korban.
Hal lain yang juga membuat banyak korban kekerasan seksual enggan melaporkan kasusnya adalah pandangan bahwa mereka melakukan tuduhan palsu. Tidak hanya itu, banyak korban kekerasan (seksual) yang kemudian malah dilaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik, karena dianggap tidak memiliki bukti yang cukup kuat.
Tantangan yang dihadapi korban dan pendamping korban kekerasan seksual juga ditambah lagi dengan pembebanan pembuktian yang seolah menjadi “tanggung jawab” pihak korban untuk membuktikan keabsahan kasus yang dilaporkannya. Tidak jarang, saat melaporkan ke pihak berwenang, pihak korban yang dituntut untuk mencari identitas dan data lengkap pelaku hingga memberikan rujukan pasal dalam aturan hukum yang bisa digunakan oleh aparat untuk memproses kasusnya lebih lanjut.
Kata kunci yang menjadi indikator suatu kekerasan adalah paksaan. Kegiatan apa pun yang mengandung paksaan adalah kekerasan.
Sumber :
Puspeka, (2023). Apa itu Kekerasan Seksual Diakses dari http://Kekerasan Seksual – Merdeka Dari Kekerasan (kemdikbud.go.id)